PDIP Siap Maju Di Daerah Yang Di Kuasai Oligarki

PDIP

PDIP Siap Maju Di Daerah Yang Di Kuasai Oligarki

PDIP
PDIP Siap Maju Di Daerah Yang Di Kuasai Oligarki

bebascara.space, PDIP – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan lebih dari satu gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada.

Hasil itu membutat partai politik sanggup mengajukan calon kepala daerah meski tidak punyai kursi DPRD. Tentunya bersama syarat tertentu.

Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus perlihatkan ketetapan MK itu sebagai wujud kemenangan melawan oligarki.

“Soal putusan MK perlu dilihat sebagai kemenangan melawan oligarki parpol yang hendak membajak demokrasi dan kedaulatan rakyat bersama strategi kotak kosong,” kata Deddy kala dikonfirmasi, Selasa (20/8/2024).

Deddy menilai putusan MK tersebut perlu dipandang positif, dikarenakan meyakinkan kehadiran lebih dari satu gunakan calon dalam pilkada. Menurut Deddy, semakin banyak kandidat, akan semakin baik bagi rakyat.

“Semakin banyak calon tentu semakin banyak pilihan calon pemimpin yang sanggup dipertimbangkan oleh rakyat. Dan itu baik bagi rakyat dan parpol, tetapi tidak baik bagi oligarki dan elite politik yang antidemokrasi,” kata Deddy.

Deddy menyebut kabar ini terlampau menggembirakan. Karena Deddy melihat selama ini tersedia upaya penguasa untuk memojokkan PDIP agar tidak sanggup mencalonkan di banyak daerah.

“Dengan ini kami meyakinkan sanggup maju di daerah-daerah yang selama ini dikuasai oligarki tertentu seperti DKI, Jabar, Jatim, Jember, Banten, Papua dan sebagainya,” Deddy menegaskan.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan lebih dari satu gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik sanggup mengajukan calon kepala daerah meski tidak punyai kursi DPRD. Tentunya bersama syarat tertentu.

Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.

Adapun mengisi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, “Dalam perihal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon memakai ketetapan meraih paling sedikit 25 prosen dari akumulasi perolehan nada sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketetapan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

PDIP : Pertimbangan Hakim MK

Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama bersama Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.

“Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak tersedia relevansinya untuk dipertahankan, agar perlu pula dinyatakan bertentangan bersama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia th. 1945,” tutur Enny dalam persidangan.

Inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada tersebut tentu berdampak pada pasal lain, seperti Pasal 40 ayat (1).

“Keberadaan pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka pada perihal demikianlah Mahkamah perlu pula menilai konstitusionalitas yang utuh pada norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016,” ungkapnya.

Adapun mengisi pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada sebelum diubah yakni, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik sanggup mendaftarkan pasangan calon jikalau telah mencukupi syarat-syarat perolehan paling sedikit 20 prosen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25 prosen dari akumulasi perolehan nada sah dalam pemilihan lazim bagian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Berita TerUpdate