Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula

Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula

Tom Lembong
Tom Lembong Terjerat Kasus Impor Gula

bebascara.space – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menentukan mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (TTL) sebagai tersangka didalam masalah dugaan korupsi impor gula, pada Selasa, 29 Oktober 2024.

Pria yang akrab disapa Tom Lembong ini, diduga melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian Nomor 257 Tahun 2004, yang menyesuaikan bahwa cuma BUMN yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih. Namun, izin impor yang dikeluarkannya justru mengizinkan PT AP melaksanakan impor tersebut.

Selain Tom Lembong, penyidik Jampidsus Kejagung terhitung menentukan DS sebagai tersangka. DS, yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di PT PPI pada 2015-2016, terhitung diduga terlibat didalam masalah ini sesudah penyidik menemukan bukti yang cukup.

Adapun masalah dugaan korupsi ini bermula kala Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan beri tambahan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) kepada pihak swasta yang tidak berwenang.

“Berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, tepatnya telah dilakukan tanggal 12 Mei 2015, telah diartikan bahwa Indonesia mengalami surplus gula agar tidak wajib atau tidak memerlukan impor gula,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa 29 Oktober 2024.

Akan tetapi, kata Qohar, pada th. yang sama yakni 2015, Tom Lembong beri tambahan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP, yang sesudah itu gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih atau GKP.

“Sesuai Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 527 Tahun 2004 yang diperbolehkan impor gula kristal putih adalah BUMN, tetapi berdasarkan persetujuan impor yang telah dikeluarkan oleh tersangka TTL impor gula dilakukan oleh PT AP, dan impor gula kristal mentah tersebut tidak lewat rapat koordinasi dengan instansi mengenai serta tanpa adanya panduan berasal dari Kementerian Perindustrian yang paham keperluan riil gula di didalam negeri,” paham dia.

Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Menko Perekonomian, yang salah satu pembahasannya bahwa Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200 ribu ton.

“Dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada bulan November-Desember 2015 tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melaksanakan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula,” ungkap Qohar.

“Padahal didalam rangka pemenuhan stok dan stabilisasi harga, selayaknya diimpor gula kristal putih secara segera dan yang mampu melaksanakan cuma BUMN,” sambung Qohar.

Kedelapan perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih pun sebetulnya cuma memiliki izin sebagai produsen gula kristal, yang diperuntukkan untuk bisnis makanan, minuman, dan farmasi.

“Setelah kedelapan perusahaan tersebut mengimpor dan mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, setelah itu PT PPI seolah-olah belanja gula tersebut. Padahal nyatanya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta yakni delapan perusahaan ke pasaran lewat distributor yang terafiliasi dengannya. Dengan harga Rp16 ribu per kilogram, harga lebih tinggi berasal dari HET (Harga Eceran Terendah) Rp13 ribu dan tidak dilakukan operasi pasar,” Qohar menandaskan.

Penetapan Tom Lembong Tidak Berdasar?

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaki Abdul Fickar, menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) terlalu bertindak gegabah didalam penetapan tersangka pada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL) mengenai kebijakan impor gula.

Menurutnya, penetapan tersebut tidak berdasar dan berisiko memicu pejabat publik enggan mengurus negara karena kuatir bakal konsekuensi hukum.

“Kebijakan itu tidak mampu dipidanakan karena dibikin oleh pejabat publik yang memiliki wewenang. Kecuali mampu dibuktikan bahwa pejabat tersebut memperoleh keuntungan ekonomi, seperti gratifikasi, maka mampu disebut penyalahgunaan jabatan,” ujar Fickar kepada Liputan6.com, Kamis (31/10/2024).

Fickar beri tambahan bahwa izin impor yang dikeluarkan atas basic kebijakan publik tidak selayaknya dipidana. “Sebagai kebijakan publik yang mampu berlaku pada siapa saja terhitung beri tambahan izin impor tidak mampu dipidanakan,” ucapnya.

Selain itu, Fickar menyebut bahwa tudingan Kejagung soal Tom Lembong tidak berkoordinasi dengan pejabat lain didalam mengambil keputusan, terhitung tidak mampu dimasukkan didalam urusan pidana.

“Soal koordinasi atau tidak dengan pejabat publik lain itu bukan urusan Kejaksaan Agung, bukan urusan hukum pidana. Ini paham kriminalisasi,” katanya.

Ia pun menduga tersedia motif politik di balik masalah ini, mengingat Tom Lembong pernah menjadi bagian berasal dari tim sukses salah satu calon presiden.

“Ini jelas-jelas kriminalisasi, jangan-jangan karena Tom pernah menjadi tim sukses berasal dari salah satu calon didalam kontestasi presiden. Jika mengidamkan dipersoalkan mengapa baru sekarang, mengapa tidak 8 th. yg lalu,” imbuhnya.

Lebih jauh, Fickar menyoroti adanya perlakuan yang tidak sama pada Menteri Perdagangan dengan kebijakan sama di masa lalu. Menurutnya, jika kebijakan Tom Lembong dianggap merugikan negara, selayaknya tersedia klarifikasi berasal dari pihak lain yang berwenang, terhitung Presiden dan Menteri BUMN, yang waktu itu tidak mempermasalahkan kebijakan tersebut.

“Kalau Tom mampu disebut Korupsi karena merugikan negara kala membolehkan perusahaan swasta yang impor gula dan bukan BUMN wajib diamati ulang kerugiannya apa? Itu tafsir kejaksaan belum tersedia buktinya,” ucapnya.

“Kalau senang dipersoalkan mengapa presiden sebagai atasan Mendag diam saja waktu itu, atau menteri BUMN terhitung tidak bereaksi, bermakna presiden dan menteri BUMN terhitung tidak mempersoalkan kebijakan itu, apalagi Presiden Jokowi pada waktu berkuasa memperlihatkan kebijakan tidak boleh dikriminalisasi,” sambunya.

Senada, Pakar Hukum Pidana berasal dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyebut penetapan tersangka pada Tom Lembong didalam masalah korupsi impor gula merupakan hal yang aneh.

Menurut Huda, tidak terkandung hubungan karena akibat pada kebijakan impor yang diambil oleh Tom Lembong dengan dugaan kerugian negara yang disebut mencapai hampir Rp300 miliar.

“Agak aneh, tiba-tiba impor gula dianggap merugikan keuangan negara. Memangnya negara nampak duwit apa kala tersedia impor gula? Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan berikan persetujuan impor gula. Yang impor siapa? Pihak swasta,” ujar Huda kepada Liputan6.com, Kamis (31/10/2024).

Ia pun mempertanyakan basic perhitungan kerugian tersebut, mengingat menurutnya, kerugian keuangan negara wajib mengenai dengan pengeluaran dana negara yang tidak semestinya.

“Kerugian keuangan negara itu berlangsung jika negara mengeluarkan duwit untuk sesuatu yang tidak seharusnya. Kalau didalam impor gula ini, negara selayaknya mengeluarkan apa?” ungkapnya.

Ia terhitung menyebut bahwa keadaan stok gula didalam negeri seandainya mencukupi, tidak serta merta menimbulkan kerugian keuangan negara cuma karena tersedia tambahan impor.

“Kalau stok cukup, lalu tersedia impor, kerugian keuangan negaranya apa? Itu yang tidak jelas. Kekurangan duwit atau aset negara wajib nyata dan tentu jumlahnya. Dalam konteks ini, apa yang dirugikan negara?” jelasnya.

Berita TerUpdate